Rabu, 09 April 2014

ASPEK PAJAK WANITA KAWIN

Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota kelurga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah dalam kondisi-kondisi tertentu yaitu apabila suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim; dikehendaki secara tertulis oleh suami istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Banyak wanita kawin yang memang sudah memiliki NPWP sebelum menikah. Ada yang lantas mengajukan penghapusan NPWP dan bergabung dengan NPWP suaminya, ada juga yang tetap bertahan untuk memiliki NPWP sendiri yang berbeda dengan suami. Kedua pilihan tersebut memiliki dampak perpajakan yang berbeda. Namun sayangnya, menurut penulis masih banyak wanita kawin yang memilih untuk tetap menggunakan NPWP sendiri, namun belum sepenuhnya memahami dampak perpajakan dari pilihan tersebut.

PERATURAN PERPAJAKAN TERKAIT

  1. Pasal 2, Pasal 2A, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
  2. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
  3. Surat Edaran Nomor SE-29/PJ/2010 tentang Pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Bagi Wanita Kawin Yang Melakukan Perjanjian Pemisahan Harta dan Penghasilan Atau Yang Memilih Untuk Menjalankan Hak dan Kewajiban Perpajakan Sendiri.

KEWAJIBAN BER-NPWP BAGI WANITA KAWIN

Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Pemenuhan syarat subyektif terkait dengan ketentuan mengenai subyek pajak sebagaimana diatur pada Pasal 2 dan Pasal 2A Undang-Undang Pajak Penghasilan. Di dalam Pasal 2 UU PPh, subyek pajak terdiri dari orang pribadi, warisan yang belum terbagi, badan, dan bentuk usaha tetap. Subyek pajak kemudian dibedakan menjadi subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri. Orang pribadi yang masuk dalam kelompok subyek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Syarat Subyektif orang pribadi sebagai subyek pajak dalam negeri ini terpenuhi ketika orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Kita yang memang sudah Warga Negara Indonesia (WNI) dan bertempat tinggal di Indonesia, sudah memenuhi syarat subyektif sejak dilahirkan. Sementara syarat obyektifnya terpenuhi ketika orang pribadi sebagai subyek pajak dalam negeri tersebut menerima penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).  
Lantas bagaimana dengan wanita yang sudah kawin ? apakah juga berlaku ketentuan yang sama seperti diatas dimana dia harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ketika syarat subyektif dan obyektif terpenuhi ?. Untuk Wanita kawin, kita harus melihat kondisi-kondisi lainnnya disamping pemenuhan syarat subyektif dan obyektif. Kondisi-kondisi lain yang dimaksud adalah : 
  1. Apakah suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim;
  2. Apakah ada suami-istri mengendaki pemisahan harta dan penghasilan berdasarkan suatu perjanjian tertulis;
  3. Apakah istri mengendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri/terpisah dari suami.
Apabila salah satu dari ketiga kondisi diatas tidak ada, maka wanita kawin tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP (NPWP sendiri yang berbeda dari suami) meskipun wanita kawin tersebut telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif. Pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya digabung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban suami. UU PPh memandang keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis sehingga semua penghasilan/kerugian anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan dan pemenuhan kewajiban perpajakannya dilakukan oleh suami/kepala keluarga. Pandangan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis mengisyaratkan dalam 1 satu keluarga hanya terdapat satu NPWP. Dalam hal wanita kawin pada kondisi ini telah memiliki NPWP sebelum menikah, maka dia harus mengajukan permohonan penghapusan NPWP.
Kondisi sebaliknya ketika salah satu dari ketiga kondisi diatas terpenuhi, maka wanita kawin memiliki kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP setelah syarat subyektif dan obyektifnya terpenuhi.

PENGHITUNGAN PAJAK DAN PELAPORAN

Kembali lagi ke prinsip Undang-Undang PPh memandang keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, maka pada prinsipnya penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami dan pemenuhan kewajiban perpajakannya dilakukan oleh suami. Pada kondisi-kondisi tertentu masih dimungkinkan pemenuhan kewajiban perpajakan suami-istri dilakukan secara terpisah. Untuk selanjutnya terkait penghitungan pajak, dapat dibedakan berdasarkan kondisi istri tidak memiliki NPWP sendiri dan Istri memiliki NPWP sendiri.
  1. ISTRI TIDAK MEMILIKI NPWP SENDIRI
  2. Dalam penghitungan pajak dengan kondisi istri tidak memiliki NPWP sendiri, penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami dan dikenakan pajak sebagai satu kesatuan.
    Contoh 1:
    WP A memperoleh penghasilan neto dari usaha Rp. 150.000.000,- mempunyai istri yang memperoleh penghasilan neto dari usaha Rp. 100.000.000,-. Penghitungan pajaknya adalah sebagai berikut :

    Penghasillan Neto Suami
    Rp. 150.000.000
    Penghasilan Neto Istri
    Rp. 100.000.000
    Jumlah
    Rp. 250.000.000
    Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/0)
    Rp.   50.625.000
    Penghasilan Kena Pajak
    Rp. 199.375.000
    PPh terutang
    5% x Rp. 50.000.000
    Rp. 2.500.000
    15% x Rp. 149.375.000
    Rp. 22.406.250
    Jumlah
    Rp. 24.906.250
    Beda lagi perlakuannya ketika penghasilan istri bukan dari usaha melainkan dari pekerjaan sebagai pegawai. Ketika penghasilan istri semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja (penghasilan sebagai pegawai pada 1 perusahaan saja) yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya, maka penghasilan istri tersebut tidak digabung dengan penghasilan suami dan pengenaan pajak atas penghasilan istri tersebut bersifat final.
    Contoh 2:
    WP A memperoleh penghasilan neto dari usaha Rp. 150.000.000,- mempunyai istri yang memperoleh penghasilan neto hanya sebagai pegawai pada satu pemberi kerja sebesar Rp. 70.000.000,- dan telah dipotong PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2.285.000, Penghitungan pajaknya adalah sebagai berikut :

    Penghasillan Neto Suami
    Rp. 150.000.000
    Penghasilan Neto Istri (tidak digabung)
    Rp.                0
    Jumlah
    Rp. 150.000.000
    Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/0)
    Rp.   26.325.000
    Penghasilan Kena Pajak
    Rp. 123.675.000
    PPh terutang
    5% x Rp. 50.000.000
    Rp. 2.500.000
    15% x Rp. 73.675.000
    Rp. 11.051.250
    Jumlah
    Rp. 13.551.250
    Pada SPT Tahunan PPh OP Suami (SPT 1770), Penghasilan istri dilaporkan pada formulir 1770-III Bagian A Angka 16 “Penghasilan Istri dari Satu Pemberi Kerja”.

  3. ISTRI MEMILIKI NPWP SENDIRI
  4. Ketika istri memiliki NPWP sendiri yang berbeda dengan NPWP suami karena adanya perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau istri menghendaki untuk menjalankan kewajiban perpajakannya sendiri, maka penghasilan suami istri dikenakan pajak secara terpisah. Penghasilan neto suami-istri dikenakan pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami istri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami istri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto masing-masing.
    Contoh 3:
    WP A memperoleh penghasilan neto dari usaha Rp. 150.000.000,- mempunyai istri yang memperoleh penghasilan neto hanya sebagai pegawai pada satu pemberi kerja sebesar Rp. 70.000.000,- dan telah dipotong PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2.285.000. Penghitungan pajaknya adalah sebagai berikut :

    A
    Penghasillan Neto Suami
    Rp. 150.000.000
    B
    Penghasilan Neto Istri
    Rp.   70.000.000
    C
    Jumlah
    Rp. 220.000.000
    D
    Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/0)
    Rp.   50.625.000
    E
    Penghasilan Kena Pajak
    Rp. 169.375.000
    F
    PPh terutang (Gabungan)
    5% x Rp. 50.000.000
    Rp. 2.500.000
    15% x Rp. 119.375.000
    Rp. 17.906.250
    Jumlah
    Rp. 20.406.250
    G
    PPh terutang yang ditanggung suami ((A:C)x F) = ((150.000.000/220.000.000) x 20.406.250
    Rp. 13.913.352
    H
    PPh terutang yang ditanggung istri ((B:C)x F) = ((70.000.000/220.000.000) x 20.406.250
    Rp.  6.492.898
    Mengingat istri telah memiliki NPWP sendiri, maka istri memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atas namanya sendiri terpisah dengan SPT Tahunan PPh suami. Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan istri adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh si istri tersebut dalam suatu tahun pajak, tidak termasuk penghasilan anak yang belum dewasa.

KONDISI YANG SERING MUNCUL PADA PRAKTEKNYA

Sering saya temui suatu kondisi dimana seorang wanita kawin memiliki NPWP sendiri yang berbeda dari NPWP suaminya. Kebanyakan alasan mereka memiliki NPWP sendiri bukan karena adanya perjanjian pisah harta dan penghasilan atau adanya kehendak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sendiri, namun karena mereka terlanjur sudah memiliki NPWP ketika sebelum menikah atau dibuatkan NPWP melalui pemberi kerja. Banyak yang tidak mengetahui dampak perpajakan seorang wanita kawin yang memiliki NPWP sendiri yang berbeda dari suaminya. Beberapa mungkin masih menghitung pajaknya dan mengisi SPT nya dengan cara yang sama ketika belum menikah, Misalnya Wanita Kawin yang bekerja sebagai pegawai dan hanya menerima penghasilan sebagai pegawai, mengisi SPT Tahunannya berdasarkan bukti potong 1721-A1 atau 1721-A2, tanpa melalui mekanisme penggabungan penghasilan suami-istri, dan pada akhirnya menghasilkan SPT Tahunan dengan status NIHIL.
Ada juga wanita kawin yang mencari NPWP sendiri semata-mata untuk menghindari pemotongan pajak lebih tinggi karena apabila tidak memiliki NPWP akan dipotong pajak 20% lebih tinggi. Untuk permasalahan ini sebenarnya wanita kawin bisa mengajukan permohonan ke KPP untuk diterbitkan NPWP Cabang/NPWP istri. Yang dimaksud dengan NPWP Cabang/NPWP istri adalah NPWP yang 9 digit pertama sama dengan NPWP suami sementara 3 digit terakhirnya bukan 000. Misalnya suami memiliki NPWP 07.777.666.2-xxx.000 maka NPWP Cabang/NPWP Istri bisa 07.777.666.2-xxx.999.

KESIMPULAN

  1. Pelaksanaan kewajiban perpajakan wanita kawin yang tidak memiliki NPWP sendiri dengan yang memiliki NPWP sendiri adalah berbeda.
  2. Jika wanita kawin yang telah memiliki NPWP sendiri sebelum menikah dan ketika menikah tidak ada perjanjian pisah harta dan penghasilan serta tidak juga menghendaki untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sendiri/terpisah dari suami, maka NPWP tersebut dapat dimohonkan untuk dihapus. Perlu dipertimbangkan contoh diatas yaitu contoh 2 dan contoh 3, kedua contoh tersebut memiliki kondisi penghasilan yang sama hanya saja pada contoh 2 istri tidak memiliki NPWP sendiri dan pada contoh 3 istri memiliki NPWP sendiri. Pada contoh 2 istri tidak memiliki NPWP sendiri, maka penghasilan dan PPh Pasal 21 yang dipotong pemberi kerja Rp. 2.285.000 sudah final. Pada contoh 3 istri memiliki NPWP sendiri, PPh yang terutang atas penghasilan istri adalah Rp. 6.492.898 yang artinya terdapat tambahan pajak yang harus ditanggung sebesar Rp. 4.207.898 (Rp. 6.492.898 – Rp. 2.285.000). Belum lagi kewajiban untuk melaporkan SPT Tahunan sendiri dan kewajiban PPh Pasal 25 Bulanan.
  3. Untuk kepentingan pemotongan PPh Pasal 21 pemberi kerja (menghindari pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih tinggi), wanita kawin dapat mengajukan permohonan ke KPP untuk diterbitkan NPWP Cabang/NPWP Istri atas nama pribadi.
Yak, demikian coretan saya tentang Aspek Pajak Wanita Kawin, Tidak usah dibaca terlalu serius. Semoga bermanfaat dan bukan sebaliknya malah tersesat, hehe. Kritik dan saran silahkan ke bidikpajak@gmail.com. tengkyu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...